Qiyas
A. Pengertian
Qiyas
dalam bahasa Arab berasal dari kata “qasa, yaqisu, qaisan” artinya mengukur,
menyamakan dan ukuran. Secara etimologi qiyas berarti pengukuran sesuatu dengan
yang lainnya atau penyamaan sesuatu dengan sejenisnya[1]. Ada juga yang mengartikan qiyas dengan mengukur sesuatu atas sesuatu yang
lain dan kemudian menyamakan antara keduanya. Ada kalangan ulama yang
mengartikan qiyas sebagai mengukur dan menyamakan.
1. Sedangkan
menurut terminology qiyas mempunyai beberapa pengertian, seiring dengan
pendapat para ulama mengenai hal tersebut.
Pendapat ulama ushul, qias adalah menghubungkan sesuatu kejadian yang tidak ada nashnya kepada kejadian lain yang ada nashnya, dalam hukum yang telah ditetapkan oleh nash karena adanya kesamaan dua kejadaian itu dalam illat hukumnya.[2]
Pendapat ulama ushul, qias adalah menghubungkan sesuatu kejadian yang tidak ada nashnya kepada kejadian lain yang ada nashnya, dalam hukum yang telah ditetapkan oleh nash karena adanya kesamaan dua kejadaian itu dalam illat hukumnya.[2]
2. Pendapat
imam Al- Ghazali qias adalah:
Menanggungkan sesuatu yang tak diketahui kepada sesuatu hal yang sudah diketahui dalam menetapkan hukum kepada keduanya atau meniadakan hukum dari keduanya disebabkan ada hal yang sama diantara keduanya dalam penetapan hukum dan peniadaan hukum.
Menanggungkan sesuatu yang tak diketahui kepada sesuatu hal yang sudah diketahui dalam menetapkan hukum kepada keduanya atau meniadakan hukum dari keduanya disebabkan ada hal yang sama diantara keduanya dalam penetapan hukum dan peniadaan hukum.
3. Arti
qias secara umum adalah menetapkan hukum suatu kejadian atau peristiwa yang
tidak ada dasar nashnya dalam al-Qur’an dan sunnah dengan cara membandingkannya
kepada suatu kejadian atau peristiwa yang lain yang telah ditetapkan hukumnya
berdasarkan nash karena ada persamaan illat antara kedua kejadian atau
peristiwa itu.
Supaya
lebih mudah memahaminya, akan kami kemukakan beberapa contoh berikut:
- Minum narkotik adalah suatu perbuatan yang perlu ditetapkan hukumnya, sedang tidak ada satu nashpun yang dapat dijadikan sebagai dasar hukumnya. Untuk menetapkan hukumnya dapat ditempuh cara qiyas dengan mencari perbuatan yang lain yang telah ditetapkan hukumnya berdasarkan nash, yaitu perbuatan minum khomr, yang diharamkan berdasarkan firman Allah SWT:
Artinya:
Hai
orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban
untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan.
Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. (Q.S al-Ma’idah: 90)
Antara minum narkotik dan minum khomr ada persamaan ‘illat,
yaitu sama-sama berakibat memabukkan para peminumnya, sehingga dapat merusak
akal. Berdasarkan persamaan ‘illat itu, ditetapkanlah hukum minum narkotik
yaitu haram, sebagaimana haramnya minum khomr.
Dalam menempatkan
qiyas sebagai dalil untuk menishbathkan hukum, ulama berbeda pendapat. Jumhur
ulama menerima dan menggunakan qiyas sebagai dalil dalam urutan keempat, yaitu
sesudah al-Qur’an, Sunnah, dan Ijma’. Banyak ayat al-Qur’an yang bisa dijadikan
sebagai dasar perintah melakukan qiyas, salah
satunya adalah:
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (QS. an-Nisa : 59)
Dalam ayat di atas terdapat urutan tentang pengambilan hukum. Yaitu mentaati Allah (hukum dalam al-Qur’an), mentaati rasul (hukum dalam Sunnah) dan mentaati pemimpin (hasil ijma’ para ulama). Sedangkan kata terakhir dalam ayat tersebut adalah
(Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah dan Rasul) berarti perintah untuk mengikuti qiyas dalam hal-hal terdapat perbedaan.
Dalam ayat yang lain Allah berfirman:
Artinya: Dia-lah yang mengeluarkan orang-orang kafir di antara ahli Kitab dari kampung-kampung mereka pada saat pengusiran yang pertama. kamu tidak menyangka, bahwa mereka akan keluar dan merekapun yakin, bahwa benteng-benteng mereka dapat mempertahankan mereka dari (siksa) Allah; Maka Allah mendatangkan kepada mereka (hukuman) dari arah yang tidak mereka sangka-sangka. dan Allah melemparkan ketakutan dalam hati mereka; mereka memusnahkan rumah-rumah mereka dengan tangan mereka sendiri dan tangan orang-orang mukmin. Maka ambillah (Kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, Hai orang-orang yang mempunyai wawasan.(QS. al-Hasyr : 2)
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (QS. an-Nisa : 59)
Dalam ayat di atas terdapat urutan tentang pengambilan hukum. Yaitu mentaati Allah (hukum dalam al-Qur’an), mentaati rasul (hukum dalam Sunnah) dan mentaati pemimpin (hasil ijma’ para ulama). Sedangkan kata terakhir dalam ayat tersebut adalah
(Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah dan Rasul) berarti perintah untuk mengikuti qiyas dalam hal-hal terdapat perbedaan.
Dalam ayat yang lain Allah berfirman:
Artinya: Dia-lah yang mengeluarkan orang-orang kafir di antara ahli Kitab dari kampung-kampung mereka pada saat pengusiran yang pertama. kamu tidak menyangka, bahwa mereka akan keluar dan merekapun yakin, bahwa benteng-benteng mereka dapat mempertahankan mereka dari (siksa) Allah; Maka Allah mendatangkan kepada mereka (hukuman) dari arah yang tidak mereka sangka-sangka. dan Allah melemparkan ketakutan dalam hati mereka; mereka memusnahkan rumah-rumah mereka dengan tangan mereka sendiri dan tangan orang-orang mukmin. Maka ambillah (Kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, Hai orang-orang yang mempunyai wawasan.(QS. al-Hasyr : 2)
Pada ayat di atas terdapat perkataan:
(Maka ambillah (Kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, Hai orang-orang yang mempunyai wawasan), maksudnya ialah: Allah SWT memerintahkan kepada manusia agar membandingkan kejadian yang terjadi pada diri sendiri kepada kejadian yang terjadi pada orang-orang kafir itu. Jika orang-orang beriman melakukan perbuatan seperti perbuatan orang-orang kafir itu niscaya mereka akan memperoleh azab yang serupa. Hal itu berarti qiyaskanlah keadaanmu kepada keadaan mereka.
Dalam hadits dari ibnu Abbas menurut riwayat an- Nasa’I. Nabi berkata: “Bagaimana pendapatmu bila bapakmu berhutang, apakah engkau akan membayarnya?” dijawab oleh si penanya (al-Khatasamiyah), “Ya, memang”. Berkata nabi, “hutang terhadap Allah lebih patut untuk dibayar”.
Hadits di atas adalah tanggapan atas persoalan si penanya yang bapaknya bernazar untuk haji tetapi meninggal dunia sebelum sempat mengerjakan haji. Ditanyakannya kepada nabi dengan ucapannya, “Bagaimana kalau saya yang menghajikan bapak saya itu?”. Keluarlah jawaban nabi seperti yang tersebut di atas.
Dalam hadits itu nabi memberikan taqrir (pengakuan/penetapan) kepada sahabatnya yang menyamakan hutang kepada Allah dengan hutang kepada manusia. Bahkan nabi menambahkan bahwa hutang kepada Allah yaitu haji, lebih patut untuk dibayar.
Sementara kalangan yang menolak qiyas juga mengemukakan beberapa alasan untuk memperkuat pendapat mereka, diantaranya:
- Bahwa qiyas dibangun atas dasar zanni atau praduga semata.
- Sebahagian sahabat mencela sekali orang yang menetapkan pendapat semata-mata berdasarkan akal pikiran.
Berhubung qiyas merupakan
aktivitas akal, maka beberapa ulama berselisih faham dengan ulama jumhur.
Pandangan ulama mengenai qiyas ini terbagi menjadi tiga kelompok:
1. Kelompok jumhur, mereka
menggunakan qiyas sebagai dasar hukum pada hal-hal yang tidak jelas nashnya
baik dalam Al Qur’an, hadits, pendapat shahabt maupun ijma ulama.
2. Mazhab Zhahiriyah dan Syiah
Imamiyah, mereka sama sekali tidak menggunakan qiyas. Mazhab Zhahiri tidak
mengakui adalanya illat nash dan tidak berusaha mengetahui sasaran dan tujuan
nash termasuk menyingkap alasan-alasannya guna menetapkan suatu kepastian hukum
yang sesuai dengan illat. Sebaliknya, mereka menetapkan hukum hanya dari teks
nash semata.
3. Kelompok yang lebih memperluas
pemakaian qiyas, yang berusaha berbagai hal karena persamaan illat. Bahkan
dalam kondisi dan masalah tertentu, kelompok ini menerapkan qiyas sebagai
pentakhsih dari keumuman dalil Al Qur’an dan hadits.
B. Macam-macam Qiyas
Qiyas
dapat dibagi menjadi tiga macam[3] ,
yaitu: Qiyas ‘illat, Qiyas dalalah dan Qiyas syibih.
1. Qiyas
‘illat ialah qiyas yang mempersamakan ashl dengan far’u, karena keduanya
mempunyai persamaan ‘illat. Qiyas ‘illat terbagi:
a. Qiyas
jali, ialah qiyas yang ‘illatnya berdasarkan dalil yang pasti, tidak ada
kemungkinan lain selain dari ‘illat yang ditunjukkan oleh dalil itu. Qiyas jali
terbagi menjadi:
-
Qiyas yang ‘illatnya ditunjuk dengan
kata-kata, seperti memabukkan adalah ‘illat larangan minum khamr, yang disebut
dengan jelas dalam nash.
-
Qiyas mulawi ialah yang hukum pada far’u
sebenarnya lebih utama ditetapkan dibanding dengan hukum pada ashal. Seperti
haramnya hukum mengucapkan kata “ah” kepada kedua orang tua berdasarkan firman
Allah SWT:
Memakan harta anak yatim haram
hukumnya berdasarkan firman Allah SWT:
Artinya:
Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta
anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan
mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka). (Q.S an-Nisa’:
10).
Karena itu ditetapkan pulalah
haram hukumnya menjual harta anak yatim. Dari kedua peristwa ini nampak hukum
yang ditetapkan pada ashal sama pantasnya dengan hukum yang ditetapkan pada
far’u.
b.
Qiyas khafi, ialah qiyas yang ‘illatnya munkin
dijadikan ‘illat dan munkin pula tidak dijadikan ‘illat, seperti mengqiyaskan
sisa minuman burung buas kepada sisa minuman binatang buas. ‘illatnya ialah
kedua binatang itu sama-sama minum dengan mulutnya, sehingga air liurnya
bercampur dengan sisa minumannya itu. ‘illat ini mungkin dapat digunakan untuk
sisa burung buas dan mungkin pula tidak, karena mulut burung buas berbeda
dengan mulut binatang buas. Mulut burung buas terdiri dari tulang atau zat
tanduk. Tulang atau zat tanduk adalah suci, sedang mulut binatang buas adalah
daging, daging binatang buas adalah haram, namun kedua-duanya adalah mulut, dan
sisa minuman. Yang tersembunyi di sini adalah keadaan mulut burung buas yang
berupa tulang atau zat tanduk.
2.
Qiyas dalalah
Qiyas dalalah ialah qiyas yang ‘illatnya tidak disebut,
tetapi merupakan petunjuk yang menunjukkan adanya ‘illat untuk menetapkan
sesuatu hukum dari suatu peristiwa. Seperti harta kanak-kanak yang belum
baligh, apakah wajib ditunaikan zakatnya atau tidak. Cara ulama yang
menetapkannya wajib mengqiyaskannya kepada harta orang yang telah baligh,
karena ada petunjuk yang menyatakan ‘illatnya, yaitu kedua harta itu sama-sama
dapat bertambah atau berkembang. Tetapi madzhab Hanafi, tidak mengqiyaskannya
kepada harta orang yang telah baligh, tetapi kepada ibadat, seperti shalat,
puasa dan sebagainya. Ibadat hanya diwajibkan kepada orang mukallaf, termasuk
di dalamnya orang yang telah baligh, tetapi tidak diwajibkan kepada anak kecil
(orang yang belum baligh). Karena itu ia anak kecil tidak wajib menunaikan
zakat hartanya yang telah memenuhi syarat-syarat zakat.
3.
Qiyas syibih
Qiyas syibih adalah qiyas yang far’u dapat diqiyaskan kepada
dua ashal atau lebih, tetapi diambil ashal yang lebih banyak persamaannya
dengan far’u. seperti hukum merusak budak dapat diqiyaskan kepada hukum merusak
orang merdeka, karena kedua-duanya adalah manusia. Tetapi dapat pula diqiyaskan
kepada harta benda, karena sama-sama merupakan hak milik. Dalam hal ini budak
diqiyaskan kepada harta benda karena lebih banyak persamaannya dibanding dengan
diqiyaskan kepada orang merdeka. Sebagaimana harta budak dapat
diperjual-belikan, diberikan kepada orang lain, diwariskan, diwakafkan dan
sebagainya.
Dilihat dari
segi kekuatan ‘illat yang terdapat pada far’u dibandingkan yang terdapat pada
ashal. Dari segi ini qiyas dibagi kepada tiga segi[4],
yaitu:
a.
Qiyas
al-Aulawi, yaitu qiyas yang hukumnya pada far’u lebih kuat daripada hukum ashl,
karena ‘illat yang terdapat pada far’u lebih kuat dari yang ada pada ashl.
Misalnya, mengqiyaskan memukul pada ucapan “ah”.
Dalam
surat al-Isra’, 17:23 Allah berfirman:
Maka sekali-kali janganlah
kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” (Q.S al-Isra’, 17: 23)
Para ulama ushul fiqh mengatakan
bahwa ‘illat larangan ini adalah menyakiti orang tua. Keharaman memukul orang
tua lebih kuat daripada sekedar mengatakan “ah” karena sifat “menyakiti”
melalui pukulan lebih kuat dari ucapan “ah”.
b. Qiyas
al-Musawi, yaitu hukum pada far’u sama kualitasnya dengan hukum yang ada pada
ashl, karena kualitas ‘illat pada keduanya juga sama. Misalnya Allah berfirman
:
“Dan berikanlah kepada anak-anak yatim (yang
sudah balig) harta mereka, jangan kamu menukar yang baik dengan yang buruk dan
jangan kamu Makan harta mereka bersama hartamu.”
(Q.S
an-Nisa’, 4: 2)
Ayat ini melarang memakan harta
anak yatim secara tidak wajar, para ulama ushul fiqh, mengqiyaskan membakar
harta anak yatim kepada memakan harta anak yatim secara tidak wajar,
sebagaimana yang disebutkan dalam ayat, karena kedua sikap itu sama-sama
menghabiskan harta anak yatim dengan cara zalim.
C.
Qiyas al-adna, yaitu ‘illat yang ada pada far’u lebih
lemah dibandingkan dengan ‘illat yang ada pada ashl. Artinya ikatan ‘illat yang
ada pada far’u sangat lemah disbanding ikatan ‘illat yang ada pada ashl.
Misalnya, mengqiyaskan apel pada
gandum dalam hal berlakunya riba fadhl, karena keduanya mengandung ‘illat yang
sama yaitu sama-sama jenis makanan. Dalam hadits Rosulullah saw. Dikatakan
bahwa benda sejenis apabila dipertukarkan dengan berbeda kuantitas, maka
perbedaan itu menjadi riba fadhl. Dalam hadits tersebut diantaranya disebutkan
gandum (H.R Bukhori Muslim). Oleh sebab itu, Imam al-Syafi’I mengatakan bahwa
dalam jual beli apel pun bisa berlaku riba fadhl. Akan tetapi, berlakunya hukum
riba pada apel lebih lemah dibandingkan dengan yang berlaku pada gandum, karena
‘illat riba al-fadhl pada gandum lebih kuat.
D. Rukum dan Syarat
Dari
pengertian qiyas yang dikemukakan di atas dapat disimpulkan bahwa unsur pokok
(rukun) qiyas terdiri atas empat unsur[5]
berikut:
v Asal
Asal yaitu sesuatu yang dinashkan hukumnya
yang menjadi ukuran atau tempat menyerupakan/ menqiyaskan. dalam ushul fiqih
disebut al-Ashlu, atau
al-maqis
‘alaih / musybah bih.
v Cabang
Cabang yaitu sesuatu yang tidak
dinashkan hukumnya, ia yang diqiyaskan, dalam ilmu ushul fiqih disebut al-far’u / al-maqis /
al-musyabbah.
v Hukum
Asal
Hukum asal yaitu syara yang dinashkan
pada poko yang kemudian akan menjadi hukum pada cabang.
v Illat
Illat yaitu suatu sifat yang nyata dan
tertentu yang berkaitan atau munasabah dengan ada dan tidak adanya hukum.
Karena adanya illat itu maka hukum itu ada, dan jika illat itu tidak ada maka
hukum itu juga tidak ada.
Adapun
syarat-syarat dari masing-masing rukun qiyas tersebut sebagai berikut :
1.
Ashal
- Menurut Imam al-Ghozali dan Syaifuddin al-Amidi yang keduanya adalah ahli ushul fiqh Syafiiyyah[6] syarat-syarat ashal itu adalah:
- Hukum ashl itu adalah hukum yang telah tetap dan tidak mengandung kemungkinan dinasakhkan
- Hukum itu ditetapkan berdasarkan syara’
- Ashal itu bukan merupakan far’u dari ashl lainnya
- Dalil yang menetapkan ‘illat pada ashal itu adalah dalil khusus, tidak bersifat umum
- Ashl itu tidak berubah setelah dilakukan qiyas
- Hukum ashl itu tidak keluar dari kaidah-kaidah qiyas far’u.
2.
Al-Far’u
Para ulama ushul fiqh
mengemukakan beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh al-far’u[7]
yaitu:
- Illat yang ada pada far’u harus sama dengan illat yang ada pada ashal. Contoh ‘illat yang sama dzatnya adalah mengqiyaskan wisky pada khamr, karena keduanya sama-sama memabukkan dan yang memabukkan itu sedikit atau banyak, apabila diminum hukumnya haram (H.R Muslim, Ahmad ibn Hanbal, al-Tirmidzi, Ibnu Majah dan al-Nasa’i). ‘illat yang ada pada wisky sama dengan zatnya/materinya dengan ‘illat yang ada pada khamr. Contoh ‘illat yang jenisnya sama adalah mengqiyaskan wajib qishas atau perbuatan sewenang-wenang terhadap anggota badan kepada qishas dalam pembunuhan, karena keduanya sama-sama perbuatan pidana.
- Hukum ashl tidak berubah setelah dilakukan qiyas. Misalnya, tidak boleh mengqiyaskan hukum mendzihar wanita dzimmi kepada mendzihar wanita muslimah dalam keharaman melakukan hubungan suami istri. Karena kaharaman hubungan suami istri dalam mendzihar suami istri yang bersifat muslimah bersifat sementara, yaitu sampai suami membayar kafarat. Sedangkan keharaman melakukan hubungan dengan istri yang berstatus dzimmi bersifat selamanya, karena orang kafir tidak dibebani membayar kafarat, dan kafarat merupkan ibadah, sedangkan mereka tidak dituntut untuk beribadah. Apabila qiyas ini ditetapkan, maka menurut ulama Hanafiyyah tidak sah. Akan tetapi menurut ulama Syafi’iyyah hukumnya sah karena orang dzimmi dikenakan kafarat.
- Tidak ada nash atau ijma’ yang menjelaskan hukum far’u itu. Artinya tidak ada nash atau ijma’ yang menjelaskan hukum far’u dan hukum itu bertentangan dengan qiyas, karena jika demikian, maka status qiyas ketika itu bisa bertentangan dengan nash atau ijma’. Qiyas yang bertentangan dengan nash atau ijma’, disebut para ulama’ ushul fiqh sebagai qiyas fasid. Misalnya, mengqiyaskan hukum meninggalkan shalat dalam perjalanan kepada hukum bolehnya musafir tidak berpuasa, karena qiyas seperti ini bertentangan dengan nash dan ijma’.
3.
Hukum Ashl
Syarat-syarat hukum ashal[8],
antara lain:
- Hukum syara’ itu hendaknya hukum syara’ yang amaly yang telah ditetapkan hukumnya berdasarkan nash. Hal ini diperlukan karena yang akan ditetapkan itu adalah hukum syara’, sedang sandaran hukum syara’ itu adalah nash. Atas dasar yang demikian, maka jumhur ulama’ berpendapat bahwa ijma’ tidak boleh menjadi sandaran qiyas. Mereka menyatakan bahwa hukum yang ditetapkan berdasarkan ijma’ adalah hukum yang ditetapkan berdasarkan kesepakatan, tidak mempunyai sandaran, selain dari kesepakatan para mujtahid. Karenanya hukum yang ditetapkan secara ijma’tidak dapat diketahui dengan pasti, sehingga tidak mungkin mengqiyaskan hukum syara’ yang amaly kepada hukum yang mujmal ‘alaih. Asy-Syaukani membolehkan ijma’ sebagai sandaran qiyas.
- Hukum ashl harus ma’qul al-ma’na, artinya pensyari’atannya harus rasional
- Hukum ashl itu tidak merupakan hukum pengecualian atau hukum yang berlaku khusus untuk peristiwa atau kejadian tertentu.
Hukum ashl ini ada dua macam,
yaitu:
·
a) ‘Illat hukum itu hanya ada pada hukum ashl
saja, tidak mungkin pada yang lain. Seperti dibolehkannya mengqoshor sholat
bagi orang musafir. ‘Illat yang masuk akal dalam hal ini ialah untuk
menghilangkan kesukaran atau kesulitan (masyaqqot). Tetapi Al-Qur’an dan dan
hadits menerangkan bahwa illatnya itu bukan karena masyaqqat tetapi karena
adanya safar (perjalanan)
·
b) Dalil (Al-Qur’an dan Hadits) menunjukkan
bahwa hukum ashl itu berlaku khusus, tidak berlaku pada kejadian atau peristiwa
yang lailn. Misalnya dalam sebuah riwayat dikatakan:
·
Kesaksian Khuzaimah sendirian sudah cukup. (H.R.
Abu Daud, Ahmad ibn Hanbal, al-Hakim, al-Tirmidzi dan al-Nasa’i)
4.
‘illat
- Pengertian ‘illat
Secara
etimologi ‘illat berarti nama bagi sesuatu yang menyebabkan berubahnya keadaan
sesuatu yang lain dengan keberadaannya. Misalnya penyakit itu dikatakan ‘illat,
karena dengan adanya penyakit tersebut tubuh manusia berubah dari sehat menjadi
sakit.
Secara
termenologi, terdapat beberapa definisi ‘illat yang dikemukakan ulama ushul
fiqh. Akan tetapi pada makalah ini akan kami sebutkan definisi ‘illat menurut
imam al-Ghozali, yaitu:
“Sifat yang berpengaruh terhadap hukum, bukan
karena dzatnya, melainkan karena perbuatan syar’i.”.
E. .Kehujjahan
Qiyas
Jumhur ulama kaum
muslimin sepakat bahwa qiyas merupakan hujjah syar’i dan termasuk sumber hukum
yang keempat dari sumber hukum yang lain. Apabila tidak terdapat hukum dalam
suatu masalah baik dengan nash ataupun ijma’ dan yang kemudian ditetapkan
hukumnya dengan cara analogi dengan persamaan illat maka berlakulah hukum qiyas
dan selanjutnya menjadi hukum syar’i.[9]
Mengenai dasar hukum qiyas bagi yang membolehkannya sebagai dasar hujjah, ialah
al-Qur’an dan al-Hadits dan perbuatan sahabat yaitu:
a.
Al-Qur’an
Allah SWT berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, taatlah kepada
Allah dan Rasul-Nya dan ulil amri kamu, kemudian jika kamu berbeda pendapat
tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah dan Rasul, jika kamu
beriman kepada Allah dan hari akhirat. Yang demikian itu lebih baik (bagimu)
dan lebih baik akibatnya.” (an-Nisâ’: 59)
Dari ayat di
atas dapat diambilah pengertian bahwa Allah SWT memerintahkan kaum muslimin
agar menetapkan segala sesuatu berdasarkan al-Qur’an dan al-Hadits. Jika tidak
ada dalam al-Qur’an dan al-Hadits hendaklah mengikuti pendapat ulil amri. Jika
tidak ada pendapat ulil amri boleh menetapkan hukum dengan mengembalikannya
kepada al-Qur’an dan al-Hadits, yaitu dengan menghubungkan atau
memperbandingkannya dengan yang terdapat dalam al-Qur’an dan al-Hadits. Dalam
hal ini banyak cara yang dapat dilakukan diantaranya dengan melakukan qiyas.
b.
Al-Hadits
Setelah Rasulullah SAW melantik
Mu’adz bin Jabal sebagai gubernur Yaman, beliau bertanya kepadanya:
“Bagaimana (cara) kamul menetapkan hukum
apabila dikemukakan suatu peristiwa kepadamu? Mu’adz menjawab: Akan aku
tetapkan berdasar al-Qur’an. Jika engkau tidak memperolehnya dalam al-Qur’an?
Mu’adz berkata: Akan aku tetapkan dengan sunnah Rasulullah. Jika engkau tidak
memperoleh dalam sunnah Rasulullah? Mu’adz menjawab: Aku akan berijtihad dengan
menggunakan akalku dengan berusaha sungguh-sungguh. (Mu’adz berkata): Lalu
Rasulullah menepuk dadanya dan berkata: Segala puji bagi Allah yang telah
memberi petunjuk petugas yang diangkat Rasulullah, karena ia berbuat sesuai
dengan yang diridhai Allah dan Rasul-Nya.” (HR. Ahmad Abu Daud dan
at-Tirmidzi)
Dari hadits ini
dapat dipahami bahwa seorang boleh melakukan ijtihad dalam menetapkan hukum
suatu peristiwa jika tidak menemukan ayat-ayat al-Qur’an dan al-Hadits yang
dapat dijadikan sebagai dasarnya. Banyak cara yang dapat dilakukan dalam
berijtihad itu. Salah satu diantaranya ialah dengan menggunakan qiyas.
c. Perbuatan sahabat
Para sahabat
Nabi SAW banyak melakukan qiyas dalam menetapkan hukum suatu peristiwa yang tidak
ada nashnya. Seperti alasan pengangkatan Khalifah Abu Bakar. Menurut para
sahabat Abu Bakar lebih utama diangkat menjadi khalifah dibanding
sahabat-sahabat yang lain, karena dialah yang disuruh Nabi SAW mewakili beliau
sebagai imam shalat di waktu beliau sedang sakit. Jika Rasulullah SAW ridha Abu
Bakar mengganti beliau sebagai imam shalat, tentu beliau lebih ridha jika Abu
Bakar menggantikan beliau sebagai kepala pemerintahan.
Khalifah Umar
bin Khattab pernah menuliskan surat kepada Abu Musa al-Asy’ari yang memberikan
petunjuk bagaimana seharusnya sikap dan cara seorang hakim mengambil keputusan.
Diantara isi surat beliau itu ialah:
“kemudian pahamilah benar-benar
persoalan yang dikemukakan kepadamu tentang perkara yang tidak terdapat dalam al-Qur’an
dan Sunnah. Kemudian lakukanlah qiyas dalam keadaan demikian terhadap
perkara-perkara itu dan carilah contoh-contohnya, kemudian berpeganglah kepada
pendapat engkau yang paling baik di sisi Allah dan yang paling sesuai dengan
kebenaran…”
d.
Akal
Tujuan Allah SWT
menetapakan syara’ bagi kemaslahatan manusia. Dalam pada itu setiap peristiwa
ada yang diterangkan dasarnya dalam nash dan ada pula yang tidak diterangkan.
Peristiwa yang tidak diterangkan dalam nash atau tidak ada nash yang dapat
dijadikan sebagai dasarnya ada yang ‘illatnya sesuai benar dengan ‘illat hukum
dari peristiwa yang ada nash sebagai dasarnya. Menetapkan hukum dari peristiwa
yang tidak ada nash sebagai dasarnya ini sesuai dengan hukum yang telah
ditetapkan berdasar nash karena ada persamaan ‘illatnya diduga keras akan
memberikan kemaslahatan kepada hamba. Sebab itu tepatlah kiranya hukum dari
peristiwa itu ditetapkan dengan cara qiyas.
Daftar
Pustaka
Syarifuddin, Amir. 1997. Ushul Fiqh Jilid 1. Jakarta: Wacana IlmuUmar, Muin dkk. 1986. Ushul Fiqh 1. Jakarta: Departemen Agama
Djazuli dkk. 2000. Ushul Fiqh Metodologi Hukum
Islam. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada
[1] Ahmad Saebani, Ilmu Ushul
Fiqh.(Bandung. Pustaka Setia:2008) h.172
[2] Muin Umar, dkk. Ushul Fiqh 1.
(Jakarta. Departemen Agama: 1986)h.107
[3] Muin Umar, dkk. Ushul Fiqh…….
h.139-142
[4] Nasrun Haroen. Ushul Fiqh……. h.75-76
[5] Djazuli, Ushul Fiqih
(Jakarta, PT. RajaGrafindo Persada: 2000) h. 136-137
[6] Muin Umar, dkk. Ushul Fiqh
1…….h.118-119
[7] Nasrun Haroen. Ushul Fiqh……. h.
75-76
[8] Muin Umar, dkk. Ushul Fiqh…….
h.119-120
[9] Abdul Wahhab al-Khallaf, Ilmu
Ushul Fiqh, hal 53.