Rabu, 05 Desember 2012

Transaksi yang di Larang dalam Islam



Transaksi yang dilarang dalam Islam
Transaksi-transaksi yang dilarang dalam Islam adalah transaksi yang disebabkan oleh faktor:
A.    Haram zatnya (objek transaksinya)
             Transaksi dilarang karena objek (barang dan/atau jasa) yang ditransaksikan juga dilarang
B.     Haram Selain Zatnya (Cara Bertransaksi-nya)  :
Jenis ini terbagi menjadi beberapa bagian, yaitu :
1.      Tadlis, yaitu sebuah situasi di mana salah satu dari pihak yang bertransaksi berusaha untuk menyembunyikan informasi dari pihak yang lain (unknown to one party) dengan maksud untuk menipu pihak tersebut atas ketidaktahuan atas informasi tersebut.
Hal ini bisa berbentuk kuantitas (quantity), kualitas (quality), harga (price), ataupun waktu penyerahan (time of delivery) atas objek yang ditransaksikan.
2.      Ikhtikar. Ikhtikar adalah sebuah situasi di mana produsen/penjual mengambil keuntungan di atas keuntungan normal dengan cara mengurangi supply (penawaran) agar harga produk yang dijualnya naik.
Ikhtikar ini biasanya dilakukan dengan membuat entry barrier (hambatan masuk pasar), yakni menghambat produsen/penjual lain masuk ke pasar agar ia menjadi pemain tunggal di pasar (monopoli), kemudian mengupayakan adanya kelangkaan barang dengan cara menimbun stock (persediaan), sehingga terjadi kenaikan harga yang cukup tajam di pasar. Ketika harga telah naik, produsen tersebut akan menjual barang tersebut dengan mengambil keuntungan yang melimpah.
3.      Bai’ Najasy adalah sebuah situasi di mana konsumen/pembeli menciptakan demand (permintaan) palsu, seolah-olah ada banyak permintaan terhadap suatu produk sehingga harga jual produk itu akan naik. Cara yang bisa ditempuh bermacam-macam, seperti menyebarkan isu, melakukan order pembelian, dan sebagainya. Ketika harga telah naik maka yang bersangkutan akan melakukan aksi ambil untung dengan melepas kembali barang yang sudah dibeli, sehingga akan mendapatkan keuntungan yang besar.
4.      Taghrir (Gharar), yaitu menurut mahzab Imam Safi`e seperti dalam kitab Qalyubi wa Umairah: Al-ghararu  manthawwats `annaa `aaqibatuhu awmaataroddada baina amroini aghlabuhuma wa akhwafuhumaa. Artinya: “gharar itu adalah   apa-apa   yang akibatnya tersembunyi dalam pandangan kita  dan akibat yang paling mungkin muncul adalah yang paling kita takuti”
Wahbah al-Zuhaili memberi pengertian  tentang gharar sebagai al-khatar dan altaghrir, yang artinya penampilan yang menimbulkan kerusakan (harta) atau sesuatu yang tampaknya menyenangkan tetapi hakekatnya menimbulkan kebencian, oleh karena itu dikatakan: al-dunya mata`ul ghuruur artinya dunia itu adalah kesenangan yang menipu.
Dengan demikian menurut bahasa, arti gharar adalah al-khida` (penipuan), suatu tindakan yang didalamnya diperkirakan tidak ada unsur kerelaan. Gharar dari segi fiqih berarti penipuan dan tidak mengetahui barang yang diperjualbelikan dan tidak dapat diserahkan.
Gharar terjadi apabila, kedua belah pihak saling tidak mengetahui apa yang akan terjadi, kapan musibah akan menimpa, apakah minggu depan, tahun depan, dan sebagainya. Ini adalah suatu kontrak yang dibuat berasaskan andaian (ihtimal) semata. Inilah yang disebut gharar (ketidak jelasan) yang dilarang dalam Islam, kehebatan sistem Islam dalam bisnis sangat menekankan hal ini, agar kedua belah pihak tidak didzalimi atau terdzalimi. Karena itu Islam mensyaratkan beberapa syarat sahnya jual beli, yang tanpanya jual beli dan kontrak menjadi rusak, diantara syarat-syarat tersebut adalah:
      Timbangan yang jelas (diketahui dengan jelas berat jenis yang ditimbang)
      Barang dan harga yang jelas dan dimaklumi (tidak boleh harga yang majhul (tidak diketahui ketika beli).
      Mempunyai tempo tangguh yang dimaklumi
      Ridha kedua belah pihak terhadap bisnis yang dijalankan.
Imam an-Nawawi menyatakan, larangan gharar dalam bisnis Islam mempunyai perananan  yang begitu hebat dalam menjamin keadilan, jika kedua belah pihak saling meridhai, kontrak tadi secara dztnya tetap termasuk dalam kategori bay’ al-gharar yang diharamkkan.
Secara umum, bentuk Gharar dapat dibagi menjadi 4 :
Ø  Gharar dalam Kuantitas
Misalnya seorang petani tembakau sudah membuat kesepakatan jual beli dengan pabrik rokok atas tembakau yang bahkan belum panen. Pada kasus ini, pada kedua belah pihak baik petani tembakau maupun pabrik rokok mengalami ketidakpastian mengenai berapa pastinya jumlah tembakau yang akan panen. Sehingga terdapat gharar atas barang yang ditransaksikan.
Ø  Gharar dalam Kualitas
Misalnya seorang pembeli sudah membuat kesepakatan untuk membeli anak kambing yang masih berada di dalam kandungan. Pada kasus ini, baik penjual maupun pembeli tidak mengetahui dengan pasti apakah nantinya anak kambing ini akan lahir dengan sehat, cacat, atau bahkan mati. Sehingga terdapat ketidakpastian akan barang yang diperjualbelikan.
Ø  Gharar dalam Harga
Misalnya Tn. A menjual motornya kepada Tn. B dengan harga Rp 8.000.000 jika dibayar lunas dan Rp 10.000.000 jika dicicil selama 10 bulan. Pada kasus ini, tidak ada kejelasan mengenai harga mana yang dipakai. Bagaimana jika Tn. B dapat melunasi motornya dalam waktu kurang dari 10 bulan? Harga mana yang akan dipakai? Hal inilah yang menjadi suatu ketidakpastian dalam transaksi.
Ø  Gharar menyangkut waktu penyerahan Misalnya Basti sudah lama menginginkan handphone milik Miro. Handphone tersebut bernilai Rp 4.000.000 di pasaran. Suatu saat, handphone tersebut hilang. Miro menawarkan Basti untuk membeli handphone tersebut seharga Rp 1.500.000 dan barang akan segera diserahkan begitu ditemukan. Dalam kasus ini, tidak ada kepastian mengenai kapan handphone tersebut akan ditemukan, dan bahkan mungkin tidak akan ditemukan. Hal ini menimbulkan gharar dalam waktu penyerahan barang transaksi.
5.      Riba adalah tambahan yang disyaratkan dalam tarnsaksi bisnis tanpa adanya pengganti (iwad) yang dibenarkan syariah atas penambahan tersebut (Imam Sarakhzi).
Al-Quran dan Sunnah dengan sharih telah menjelaskan keharaman riba dalam berbagai bentuknya; dan seberapun banyak ia dipungut. Allah swt berfirman;
الَّذِينَ يَأْكُلُونَ الرِّبا لا يَقُومُونَ إِلَّا كَمَا يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُوا إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبا وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبا فَمَنْ جَاءَهُ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّهِ فَانْتَهَى فَلَهُ مَا سَلَفَ وَأَمْرُهُ إِلَى اللَّهِ وَمَنْ عَادَ فَأُولَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ
“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka Berkata (berpendapat), “Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba,” padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya”. [TQS Al Baqarah (2): 275]
Di dalam Sunnah, Nabiyullah Mohammad saw
دِرْهَمُ رِبَا يَأْكُلُهُ الرَّجُلُ وَهُوَ يَعْلَمُ أَشَدُّ مِنْ سِتٍّ وَثَلَاثِيْنَ زِنْيَةً
“Satu dirham riba yang dimakan seseorang, dan dia mengetahui (bahwa itu adalah riba), maka itu lebih berat daripada enam puluh kali zina”. (HR Ahmad dari Abdullah bin Hanzhalah).
Jenis-jenis Riba :
a)      Riba Nasii`ah.
Riba Nasii`ah adalah tambahan yang diambil karena penundaan pembayaran utang untuk dibayarkan pada tempo yang baru, sama saja apakah tambahan itu merupakan sanksi atas keterlambatan pembayaran hutang, atau sebagai tambahan hutang baru. Misalnya, si A meminjamkan uang sebanyak 200 juta kepada si B; dengan perjanjian si B harus mengembalikan hutang tersebut pada tanggal 1 Januari 2009; dan jika si B menunda pembayaran hutangnya dari waktu yang telah ditentukan (1 Januari 2009), maka si B wajib membayar tambahan atas keterlambatannya; misalnya 10% dari total hutang. Tambahan pembayaran di sini bisa saja sebagai bentuk sanksi atas keterlambatan si B dalam melunasi hutangnya, atau sebagai tambahan hutang baru karena pemberian tenggat waktu baru oleh si A kepada si B. Tambahan inilah yang disebut dengan riba nasii’ah.
Adapun dalil pelarangannya adalah hadits yang diriwayatkan Imam Muslim;
الرِّبَا فِيْ النَّسِيْئَةِ
” Riba itu dalam nasi’ah”.[HR Muslim dari Ibnu Abbas]

b)      Riba Fadlal.
Riba fadlal adalah riba yang diambil dari kelebihan pertukaran barang yang sejenis. Dalil pelarangannya adalah hadits yang dituturkan oleh Imam Muslim.
الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ وَالشَّعِيرُ بِالشَّعِيرِ وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ وَالْمِلْحُ بِالْمِلْحِ مِثْلًا بِمِثْلٍ سَوَاءً بِسَوَاءٍ يَدًا بِيَدٍ فَإِذَا اخْتَلَفَتْ هَذِهِ الْأَصْنَافُ فَبِيعُوا كَيْفَ شِئْتُمْ إِذَا كَانَ يَدًا بِيَدٍ
“Emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, sya’ir dengan sya’ir, kurma dengan kurma, garam dengan garam, semisal, setara, dan kontan. Apabila jenisnya berbeda, juallah sesuka hatimu jika dilakukan dengan kontan”.HR Muslim dari Ubadah bin Shamit ra).
c)      Riba al-Yadd.
Riba al-Yadd yang disebabkan karena penundaan pembayaran dalam pertukaran barang-barang. Dengan kata lain, kedua belah pihak yang melakukan pertukaran uang atau barang telah berpisah dari tempat aqad sebelum diadakan serah terima. Larangan riba yadd ditetapkan berdasarkan hadits-hadits berikut ini;
الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ رِبًا إِلَّا هَاءَ وَهَاءَ وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ رِبًا إِلَّا هَاءَ وَهَاءَ وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ رِبًا إِلَّا هَاءَ وَهَاءَ وَالشَّعِيرُ بِالشَّعِيرِ رِبًا إِلَّا هَاءَ وَهَاءَ
“Emas dengan emas riba kecuali dengan dibayarkan kontan, gandum dengan gandum riba kecuali dengan dibayarkan kontan; kurma dengan kurma riba kecuali dengan dibayarkan kontan; kismis dengan kismis riba, kecuali dengan dibayarkan kontan (HR al-Bukhari dari Umar bin al-Khaththab)

d)     Riba Qardl.
Riba qaradl adalah meminjam uang kepada seseorang dengan syarat ada kelebihan atau keuntungan yang harus diberikan oleh peminjam kepada pemberi pinjaman.
Berkenan dengan jual beli yang dilarang dalam Islam, Wahbah Al-Juhaili meringkasnya sebagai berikut :
v  Terlarang Sebab Ahliah (Ahli Akad)
      Ulama telah sepakat bahwa jual beli di kategorikan sah apabila dilakukan oleh orang yang baliqh, berakal, dapat memilih. Mereka yang dipandang tidak sah jual belinya sebagai berikut :
a.   Jual beli yang dilakukan oleh orang gila.
b.   Jual beli yang dilakukan oleh anak kecil.
      Terlarang dikarenakan anak kecil belum cukup dewasa untuk mengetahui perihal tentang jual beli.
c.   Jual beli yang dilakukan oleh orang buta.
Jual beli ini terlarang karena ia tidak dapat membedakan barang yang jelek dan barang yang baik.
d.   Jual beli terpaksa
   Terlarang dikarenakan tidak adanya unsur kerelaan antara penjual atau pun pembeli dalam akad.
e.       Jual beli fudhul
Adalah jual beli milik orang lain tanpa seizin pemiliknya.
f.       Jual beli yang terhalang
Terhalang disini artinya karena bangkrut, kebodohan, atau pun sakit.

g.   Jual beli malja’
      Adalah jual beli orang yang sedang dalam bahaya, yakni untuk menghindar dari perbuatan zalim.
v  Terlarang Sebab Shigat
Jual beli yang antara ijab dan kabulnya tidak ada kesesuaian maka dipandang tidak sah. Beberapa jual beli yang termasuk terlarang sebab shiqat sebagai berikut :
a.   Jual beli Mu’athah
Jual beli yang telah disepakati oleh pihak akad, berkenaan dengan barang maupun harganya, tetapi tidak memakai ijab kabul.
b.   Jual beli melalui surat atau melalui utusan
      Dikarenakan kabul yang melebihi tempat, akad tersebut dipandang tidak sah, sperti surat tidak sampai ke tangan orang yang dimaksudkan.
c.   Jual beli dengan isyarat atau tulisan
Apabila isyarat dan tulisan tidak dipahami dan tulisannya jelek (tidak dapat dibaca), maka akad tidak sah.
d.   Jual beli barang yang tidak ada ditempat akad
      Terlarang karena tidak memenuhi syarat in’iqad  (terjadinya akad).
e.       Jual beli tidak bersesuaian antara ijab dan kabul.
f.       Jual beli munjiz
Adalah yang dikaitkan dengan suatu syarat atau ditangguhkan pada waktu yang akan datang.



v  Terlarang Sebab Ma’qud Alaih (Barang jualan)
Ma’qud alaih adalah harta yang dijadikan alat pertukaran oleh orang yang akad, yang biasa disebut mabi ’  (barang jualan) dan harga. Tetapi ada beberapa masalah yang disepakati oleh sebagian ulama, tetapi diperselisihkan, antara lain :
a.  Jual beli benda yang tidak ada atau dikhwatirkan tidak ada
b.  Jual beli yang tidak dapat diserahkan
     Contohnya jual beli burung yang ada di udara, dan ikan yang ada di dalam air tidak berdasarkan ketetapan syara’.
c.  Jual beli gharar
     Adalah jual beli barang yang menganung unsur menipu (gharar).
d. Jual beli barang yang najis dan yang terkena najis
     Contohnya : Jual beli bangkai, babi, dll.
e.    Jual beli air
f.    Jual beli barang yang tidak jelas (majhul )
Terlarang karenakan akan mendatangkan pertentangan di antara manusia.
g.   Jual beli barang yang tidak ada di tempat akad (gaib), tidak dapat dilihat
h.   Jual beli sesuatu sebelum di pegang
i.     Jual beli buah-buahan atau tumbuhan
Apabila belum terdapat buah, disepakati tidak ada akad. Setelah ada  buah, tetapi belum matang, akadnya fasid.



v  Terlarang Sebab Syara’
Jenis jual beli yang dipermasalahkan sebab syara’ nya diantaranya adalah :
a.   Jual beli riba
b.   Jual beli dengan uang dari barang yag diharamkan
      Contohnya jual beli khamar, anjing, bangkai.
c.   Jual beli barang dari hasil pencegatan barang
      Yakni mencegat pedagang dalam perjalanannya menuju tempat yang di tuju sehingga orang yang mencegat barang itu mendapatkan keuntungan.
d.   Jual beli waktu adzan jum’at
      Terlarang dikarena bagi laki-laki yang melakukan transaksi jual beli dapat mengganggukan aktifitas kewajibannya sebagai muslim dalam mengerjakan shalat jum’at.
e.       Jual beli anggur untuk dijadikan khamar
f.       Jual beli barang yang sedang dibeli oleh orang lain
g.      Jual beli hewan ternak yang masih dikandung oleh induknya.









Daftar Pustaka
Rahmat Syafe’i MA, Prof., Dr., 2004, Fiqih Muamalah, Pustaka Setia, Bandung
Saefuddin, AM. Nilai-nilai sistem ekonomi Islam. Media Dakwah: Jakarta 1984
Ahkam min Al-Qur`an). Jilid 1. Cetakan I. Alih bahasa Mu`ammal Hamidy & Imron A. Manan. (Surabaya : PT. Bina Ilmu)
Rambe, Nawawiah, Drs, 1994, Fiqih Islam, Duta Pahala, Jakarta.









4 komentar: